SELAMAT DATANG DI BLOGKU

Selamat datang di Blogku ini...............................
Dengan adanya blog ini saya hanya ingin menjalin tali silaturahim dengan siapapun tanpa pandang Ras,Agama,Suku,dan Golongan....marilah kita jadikan Blog sebagai sarana untuk "Toleransi dan Perdamaian"

jam

Jakarta

Kamis, 18 November 2010

IBRAHIM,ISMAIL DAN HIKMAH QURBAN

Kita pernah dibuat takjub oleh peristiwa pengurbanan Ismail, anak Ibrahim. Anak saleh dalam kisah dramatis itu menjadi contoh teladan yang cerita tentang kesabaran dan keikhlasannya senantiasa diperbincangkan di setiap waktu. Al-Qur’an menceritakan dan memuji kesabarannya, malaikat dibuat terhenyak haru dengan kesabaran sekaligus keikhlasan sang ayah, Ibrahim, ketika akan menunaikan titah Tuhan, menyambelih anaknya sendiri. Iblis pun sepertinya “dibuat ampun” dengan keteguhan hati ayah dan anak itu. Manuver-manuver godaannya lalu dipatahkan begitu saja dengan lemparan batu Ibrahim AS. Maka jadilah ritual “melontar jumrah” menjadi salah salah satu prosesi pelaksanaan ibadah haji. Konon itu dilakukan sebagai bentuk perlawanan terhadap iblis. Cerita ini barangkali sudah sangat sering didengunkan sang khatib Idul Adha dari tahun ke tahun. Lebih jauh, Ibrahim dan Ismail bahkan menjadi simbolisasi kehidupan yang sarat dengan pengorbanan, cinta, kesabaran, dan keikhlasan.
Ibrahim mengajarkan kita sebuah cinta kasih, yang diimbangi dengan sikap pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Bahwa meyakini keberadaan Tuhan, berarti tunduk, pasrah, dan patuh pada keinginan yang satu. Beragama, berarti patuh pada beragam sistem nilai dan norma etis yang dilahirkan oleh Tuhan agama itu. Ismail, selain menjadi panutan anak saleh, ia juga mengajarkan kita sebuah kesabaran. Al-Qur’an, dalam salah satu ayatnya misalnya memberitakan, tatkala Ibrahim menceritakan mimpinya kepada Ismail, yang berarti perintah dari Tuhan untuk menyembelihnya, maka ismail pun berkata: yaa abati if’al maa tu’maru satajidunii insyaa allahu minasshaabiriin, “kerjakan perintah itu, wahai ayahku, insya Allah engkau akan mendapatiku berada dalam golongan orang-orang yang sabar.” Sabar, dalam arti yang lebih dalam, menjadi sesuatu yang sangat luar biasa, yang mampu membuat segenap jiwa lebih tegar dalam menghadapi setiap persoalan dan cobaan.
Ibrahim dan Ismail, bukan sekadar cerita. Sosok ayah dan anak itu bahkan membiaskan kita akan sebuah tradisi tertentu di setiap tahun, di mana kita harus merenungi penyakit kemiskinan yang semakin kronis di negeri kita ini. Fenomena idul adha, seperti kita lihat di media massa, acapkali diwarnai dengan perebutan daging antar orang-orang miskin. Di setiap tahun, di berbagai tempat, rakyat-rakyat miskin yang “lapar” itu harus berkumpul, antri, panas, gerah, mengomel, bahkan memaki dan bertengkar antar sesamanya demi sekantong daging kurban. Masyarakat kaya yang melihatnya juga tidak heran. “Biasa, orang miskin kok…” barangkali begitu ucapnya, sambil mungkin mengelus perutnya yang kembung kekenyangan karena daging. Perayaan kurban, pembagian zakat, seharusnya menjadi moment di mana para penguasa mengukur betapa dalamnya jurang kemiskinan di negeri ini.
Ibrahim dan Ismail, bukan sekadar cerita. Kisahnya memberikan sebuah pelajaran berharga untuk kita, tentang betapa mahalnya tubuh seorang manusia untuk dikurbankan. Di saat umat lain di beberapa wilayah menjadikan manusia sebagai kurban sang dewa, di suatu tempat di jazirah arab, justru lahir tradisi pengurbanan yang berbeda. Di saat masyarakat Mesir menceburkan gadis perempuannya ke Sungai Nil untuk dijadikan kurban, masyarakat romawi harus membunuh lalu mengambil hati dan jantung beberapa pemuka masyarakatnya untuk dipersembahkan kepada dewa, Allah SWT pun menghadirkan cerita Ibrahim dan Ismail-Nya. Sebuah cerita tentang “konversi” dari manusia ke hewan dalam praktek kurban. Skenario Tuhan yang agung itu memberikan hikmah kepada kita, bahwa manusia tidak perlu mengorbankan sesamanya untuk dijadikan sesembahan tuhan. Bahwa Tuhan yang maha kaya itu, tidak butuh daging hambanya. Ia telah kaya dengan sendirinya. Kalaupun hewan itu harus kita kurbankan, toh dagingnya untuk kita nikmati sendiri. Sungguh bijak Tuhan kita. Beda dengan tuhan-tuhan lain. Karena tuhan-tuhan lain selalu butuh kurban, harus dimanjakan, mereka pun mampus dilindas oleh kedigdayaan dan kebesaran Tuhan kita. Karena itu, sayangi dan hargalah Tuhanmu, Tuhanku, dan Tuhanta’ semua. Wallahu a’lam bisshawab.(sumber:google)